Sabtu, 19 Desember 2015

Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad

di Malioboro

--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965--

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram...

Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997

Tigris

Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
1986

Pada Album Miguel de Covarobias

Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.

Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta

kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura

juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu

dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996

Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum


“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

sumber http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-goenawan-muhammad

Kumpulan Puisi Karya Amir Hamzah


Lahir 28 Februari 1911 di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, terbunuh dalam revolusi sosial 16maret 1946 di Langkat, Sumatera Utara.
Pendidikannya: tamat HIS (sekolah anak-anak Indonesia dengan bahasa pengantara bahasa Belanda), lalu ke Medan dan ke Jakarta (mungkin 1928) sekolah di Sekolah lanjutan Pertama Kristen (2 tahun), kemudian belajar di Sekolah Lanjutan Atas Solo, Jawa Tengah (mungkin antara 1929-1932). Kembali ke Jakarta, masuk Sekolah Tinggi Hukum, sampai lulus sarjana muda, tapi tidak tamat.
Selama di Jawa, dia aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan. Dengan S. Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru. Tapi dia dipanggil pulang oleh pamannya, Sultan langkat – orang yang membiayai pendidikan Amir – dan diambil menantu.
Bukunya yang sudah terbit: Nyanyian Sunyi (1937), Buah Rindu (1941), Sastra Melayu Lama dengan Tokoh-tokohnya (1941), dan Esei dan Prosa (1982). Terjemahannya: Bhagawad Gita (dimuat dalam Pujangga Baru,1933-1934) dan Setanggi Timur(terjemahan puisi Jepang, Arab,India, Persia dll., 1939). Berbagai karangannya yang tersebar dihimpun H.B. Jassin dalamAmir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963).
Sejumlah puisnya ada dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B. Jassin. Amir Hamzah dikenal sebagai tokoh penting pada masa Pujangga baru dalam sastra Indonesia.


Astana Rela

Tiada bersua dalam dunia
tiada mengapa hatiku sayang
tiada dunia tempat selama
layangkan angan meninggi awan

Jangan percaya hembusan cedera
berkata tiada hanya dunia
tilikkan tajam mata kepala
sungkumkan sujud hati sanubari

Mula segala tiada ada
pertengahan masa kita bersua
ketika tiga bercerai ramai
di waktu tertentu berpandang terang

Kalau kekasihmu hasratkan dikau
restu sempana memangku daku
tiba masa kita berdua
berkaca bahagia di air mengalir

Bersama kita mematah buah
sempana kerja di muka dunia
bunga cerca melayu lipu
hanya bahagia tersenyum harum

Di situ baru kita berdua
sama merasa, sama membaca
tulisan cuaca rangkaian mutiara
di mahkota gapura astana rela.

Hari Menuai

Lamanya sudah tiada bertemu
tiada kedengaran suatu apa
tiada tempat duduk bertanya
tiada teman kawan berberita

Lipu aku diharu sendu
samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari
melolong meraung menyentak rentak
membuang merangsang segala petua
tiada percaya pada siapa

Kutilik diriku kuselam tahunku
timbul terasa terpancar terang
istiwa lama merekah terang
merona rawan membunga sedan

Tahu aku
kini hari menuai api
mengetam ancam membelam redam
ditulis dilukis jari tanganku.

 

Subuh

Kalau subuh kedengaran tabuh
semua sepi sunyi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya

Terjaga aku tersentak duduk
terdengar irama panggilan jaya
naik gembira meremang roma
terlihat panji terkibar di muka

Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka

Terbaring badanku tiada berkuasa
tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dalam kelam

Tetapi hatiku, hatiku kecil
tiada terlayang di awang dendang
menanggis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri.

 

Insaf

Segala kupinta tiada kauberi
segala kutanya tiada kausahuti
butalah aku terdiri sendiri
penuntun tiada memimpin jari

Maju mundur tiada terdaya
sempit bumi dunia raya
runtuh ripuk astana cuaca
kureka gembira di lapangan dada

Buta tuli bisu kelu
tertahan aku di muka dewala
tertegun aku di jalan buntu
tertebas putus sutera sempana

Besar benar salah arahku
hampir tertahan tumpah berkahmu
hampir tertutup pintu restu
gapura rahsia jalan bertemu

Insaf diriku dera durhaka
gugur tersungkur merenang mata;
samar terdengar suwara suwarni
sapur melipur merindu temu.

Insaf aku
bukan ini perbuatan kekasihku
tiada mungkin reka tangannya
kerana cinta tiada mendera

Rabu, 16 Desember 2015

Kumpulan Puisi "Sepenggal Kata yang Tergoreskan"

Celoteh Sebutir Pasir
Karya Iza Faza

Pasirpun enggan berbalik
Pada ombak yang menghempaskannya
Dengan angin dan terik
Bahkan tak dengan dermaga

            Akulah yang terlupakan
Dimainkan dan dicampakan
Tak kau bela
Meski kau tahu adanya

Akulah sang sengsara
Disepaknya dan dicibirnya
Padahal aku disini diam
Tak berucap dengan tikam

         Adipatipun menghunus pedang
         Pusakan sangkakala
         Kini mereka beradu cinta
         Pada selaput terobek dusta 
 Batang, 24 Sept 2015


Keluhku
Karya Iza Faza


Akulah ajang silaturrahmimu
Dengan peluh dan tangis dipelupukmu
Saat badai bagi bahari


Kau terseok-seok berlari

            Kini...
Kakiku telah ku ganti beton
Kepala ini bak mercusuar
Agar kau dapat mendengar
Bait-bait dzikir dan serat kesalahan

Tapi...

Kakiku semakin kelu
Kepalaku tak lagi tegak
Saat satu bocah tengah tersedu
Sedang bocah lain tengah merangkak
Menjemput hal yang bukan haknya

Lumpur kering yang dulu kupijak
Mulai terguyur rintik kesedihan
Perlahan basah jua
Menenggelamkanku dalam teror
Semarang, 21 September 2015
 


Ladangku
Karya Iza Faza

Diapun mulai menguning
Ketika kabut terkepung angin
Menunggu dengan harap
Pada air kehidupan

         Diapun mulai kering
         Ketika terik menyengat kulit
         Hingga peluh mengucur badan
         Pada air kehidupan

Diapun tak terjamah
Tangan ulet sang empunya
Hingga musuh mulai meraba
Menjadikan hitam jua

         Diapun tak diingat
         Oleh pemegang setianya
         Hingga merunduk dalam lesu
         Pada air kehidupan

Batang, 26 September 2015



Resonansi Sunyi
Karya Iza Faza 


Aspal hitam di pertigaan jalan
Terdiam berabad-abad
Menanti dan bertahan
Dari tangan tak beradab



         Walau tamparan angin
         Menghujam sampai ke bumi
         Meski terinjak hujan
         Dengan berjuta resonansi

Hanya diam
Tak bergeming
Tak pula retak

         Meski terjamah menyakitkan
         Tapi
         Ketika terlupakan
         Itu luka

Tetap diam
Bertahan untuk seulas senyuman
Teruntuk matahari malam
Yang kelak dia banggakan

Semarang, 5 Oktober 2015

Jeritan Sang Soko
Karya Iza Faza

Akulah sang liar dan kokoh
Kini akupun tertidur abadi merobohkan tubuh kekarku
Peluh mengucur tiap jengkal tubuh ini
Hingga lapuk tak berbentuk
Kau sebut ini penghargaan?

Kau...

         Yang terdiam dalam bisu
         Menikmati tubuhku yang telah kau koyak
         Hingga kau merasa puas
         Dan kau menikmatinya dalam hari

Kini waktuku telah kau rampas
Dengan congaknya kau buat aku merintih
Tapi tak kau dengarkan jeritanku
Hingga aku menjadi maya
Dalam duniaku

        Sungguhpun aku takkan menuntut
        Tapi lestarikan generasiku
        Hingga aku dapat tersenyum
        Dalam tidur abadiku.

10 September 2015

Kumpulan Cerpen "Rintihan Kata"



Kotak Musik
Karya Iza Faza
“Kau tahu pernah ada sebuah gua kecil yang berada di tengah desa dan tempatnya sangat gelap?” roni melirikku sekilas. Pandangan kami bertemu di satu titik dimana hanya ada keheningan. Bisa kurasakan detak jantung kami saling berpacu. Peluh, gemetar tak dapat kami berdua sembunyikan. Akupun tak tahu arah pembicaraan kami, yang aku tahu sekarang kami terjebak dalam suasana hening tak menentu. Roni tersenyum padaku dan kembali mengalihkan pandangannya kearah langit yang saat itu tengah kelam. Mungkin langit tengah berduka atas bulan dan matahari yang tak mampulagi saling bertatap dan saling berjalan serasi walau di jalan masing-masing. Roni melanjutkan apa yang barusan dia katakan dan aku hanya dapat berpangku tangan mendengarkan setiap bait sajak yang ia ucapkan tanpa memotong tiap rangkaian kata yang ia ucapkan.
“Selama bertahun-tahun tak ada yang memasang penerangan. Setiap hari hanya ada kegelapan yang mengepung gua tersebut. kau tahu butuh berapa lama untuk membuat gua tersebut terang?” kini dia kembali melirikku dan tak seperti tadi, seakan dia menuntut jawaban dariku. Aku hanya dapat menggelengkan kepala karena sebenarnya aku tak tahu apa yang tengah ia bicarakan. Yang aku tahu hanyalah perasaanku semakin tak menentu ketika pandangan kami bertemu di satu titik seperti sekarang ini.
“tak lama untuk membuat gua itu terang. Hanya butuh 1 detik” masih dengan menatapku dia menyalakan korek api yang sedari tadi dipegangnya. Sontak membuatku terkejut dengan apa yang ia lakukan. Aku lihat bahwa tempat duduk kami berdua yang semula gelap kini terang dengan nyala api dari korek api yang ia nyalakan.
“seperti itulah kehidupanku” roni berbalik kembali menatap langit.
“apa?” aku tercengang mendengar apa yang barusan roni katakan. Aku masih tak habis pikir dengan jalan pikiran dan cara dia berbicara.
“ya, seperti cerita yang barusan kamu dengar” roni menjawab tanpa berbbalik kearahku. Dia mengaitkan kedua tangannya di depan dada, seakan ada yang ia ingin jelaskan.
“semenjak aku kecil, aku selalu di manja oleh kedua orang tuaku. Segala yang aku butuhkan selalu terpenuhi. Akan tetapi yang sebenarnya aku butuhkan justru mereka tak pernah memberiku kesempatan untuk merasakannya” samar-samar terlihat mimik mukanya berubah. Sakan ada beban dan ada kenangan pahit yang ada di tiap kata yang barusan ia katakan.
“kalau boleh tahu apa?” dengan hati-hati aku mencoba untuk mencari tahu sesuatu yang sebenarnya mungkin tak tepat aku tanyakan saat ini.
Kini dia berbalik karahku dan mendekatkan wajahnya. Memandangku dengan lekat seakan memberiku isyarat untuk mendengarkan dengan baik-baik karena dia tak akan mengulang.
“cinta dan kasih sayang” dia menjawab dengan penuh tekan ditiap hurufnya. Serasa mencekik hatiku. Aku hanya terdiam, bukan karena aku tak paham dengan situasinya. Justru sekarang aku mengerti apa yang ia rasakan dan apa yang tengah ia sampaikan. Aku terdiam karena aku tak mampu untuk sekadar berbicara hai. Karena lidahku kelu dan nafasku serasa tercekik mendengar pernyataan dia barusan.
“zara, mau kah kau jadi sinar di kegelapanku?” roni mengeluarkan sebuah kado dari tasnya dan memberikannya padaku. Antara bingung, senang, takut bercampur menjadi satu. Dengan reflek tubuhku mengatakan iya. Semenjak itu kami berdua pacaran. Kehidupan pacaran kami berjalan dengan begitu indah. Setiap hari dia berada di depan rumahku hanya untuk berangkat sekolah bersama. Setiap hari serasa peri-peri kecil berterbangan diantara kam, memeperindah hubungan kami. Sampai pada saat aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang roni sembunyikan dariku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan roni. Karena sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami.
***
“Jadi, kenapa kamu tega menyembunyikan semua ini dariku?” aku menepuk nepuk dadaku sendiri dengan penuh amarah hingga tak sadar bahwa seberkas cairan suci mengalir dipelupuk mataku.
“itu karena kamu!” Diana mulai terisak dan terjatuh memegang kedua kerah bajunya.
“aku?”  aku terkejut akan jawaban Diana dengan tangan yang menunjuk pada diriku sendiri.
“ya !, kamu tahu kan Roni sangat mencintaimu dan… a..a..aku sangat mencintainya. Kau tahu bahkan aku mengenal Roni lebih dulu dari pada kamu. Tapi !, dia… tak pernah melirik kearahku” dengan terbata-bata Diana mencoba menjelaskan hal apa yang tengah terjadi dan alasan mengapa dia sampai pada keadaan seperti ini.
Aku tak menyangka alasan Diana begitu berani melangkah sampai dia merelakan kesuciannya pergi sebelum saat yang tepat. Aku hanya bisa tersungkur mendengar penjelasan Diana. Sekarang aku tahu mengapa Roni akhir-akhir ini berbeda bahkan berubah.
“tapi… kenapa kamu sampai berbuat begitu! Kalau kau mau, silahkan rebut dia dariku. Dengan cara yang baik-baik. Bukan seperti ini di!” aku mulai terisak. Tak menyangka seorang yang aku kira sahabat terbaikku  ternyata mengkhianatiku. Terlebih lagi mengapa harus dengan cara yang begitu keji.
“apa kau tahu selama ini roni di ejek teman-temannya karena dia tidak pernah berhasil menyentuhmu?. Aku.. aku yang mendengar seperti itu tak bisa membiarkannya. Maka dari itu, a…aku merelakan kesucianku untuknya” Diana menjawab dengan begitu pilu ditambah isakan yang semakin lama semakin menjadi.
Aku tahu betapa sedihnya perasaan Diana karena kejadian ini, dia di keluarkan dari sekolah, di kucilkan masyarakat. Bahkan yang paling memilukan keluarganya tak mengakui Diana sebagai anaknya.
Hujan malam ini begitu deras membawa angin yang telah lama tak bertemu dengan malam. Dibawah langit gelap mala mini aku keluarkan sebuah bungkusan kado yang dulu diberikan Roni padaku. Aku memang taka da niatan untuk melihatnya, tapi mala mini aku begitu ingin melihat isinya. Kurobek bungkusan kado tersebut dengan hati-hati. Betapa terkejutnya aku, ternyata isi dari kado tersebut adalah sebuah kotak music yang pernah aku tunjukkan saat pertama kali pacaran. Kubuka kotak music tersebut dengan hati-hati dan mendengarkan dengan seksama music yang diputar dengan ballerina yang menari ditengah-tengah kotak music. Menambah sauasan syahdu mala mini. Suasana langit seolah memutar waktu dimana pertama kali roni mengajakku untuk berpacaran. Entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kuambil payung dari dalam keranjang payng aku mekarkan dan aku keluar dari rumah padahal aku sangat takut. Aku mencoba menghubungi roni yang selama ini tidak berani menemuiku dan bahkan melarikan diri dari Diana. Tak kusangka roni membalasku dan kami membuat janji bertemu di taman dekat rumahku. Aku menunggu di kursi pertamaku dan roni, dengan bertemankan hujan yang semakin deras hingga payung yang kubawa tak mampu melindungiku dari jamahan derasnya hujan. Tiga jam sudah tak kulihat tanda-tanda kedatangan roni. Baju yang kering sudah berganti dengan baju yang basah kuyup dan jemariku mulai mati rasa. Sesaat sebelum aku berbalik untuk pulang, roni memanggilku. Kuberikan sebuah senyuman untuknya sebelum tanganku mendarat tepat di pipi mulusnya. Percakapan kami begitu canggung, Namun perlahan tapi pasti kami mulai terbiasa dan sampai pada akhirnya aku mulai menyinggung permasalahan dia dan Diana. Setelah penjelasannya yang panjang dan lebar aku mulai memahami mengapa sampai terjadi hal semacam itu.
“ini” aku menyerahkan sebuah kotak yang kini basah kuyup karena terkena hujan.
“apa ini?” roni menerima kotak tersebut dan membukannya. Terlihat jelas wajahnya yang begitu sedih.
“itu adalah hadiah pertama yang aku terima darimu, berikanlah itu untuk calon anakmu. Karena kotak music itu adalah tanda cinta kita. Jadi cintailah calon anakmu seperti yang kau katakana tadi bahwa kau sangat mencintaimu. Kau tahu kan Diana begitu mencintaimu. Aku harap kamu mulai mencintainya, dan lagi kamu harus bertanggung jawab. Kamu juga harus tahu, anak adalah hadiah terindah dari surga. Aku harap kamu rawat bunga surge itu, walaupun dia tumbuh di lumpur yang begitu busuk.” Aku berikan payung yang sedari tadi aku pegang untuk roni dan perlahan aku mulai berjalan pulang.
“aku akan tanggung jawab ra!” pekik dia dari taman, mendengarkan pekikan dia aku terhenti dan berbalik dengan sebuah senyuman dan mengacungkan jempolku kearahnya.
“aku akan merawat bunga surge itu agar tak layu dan tak menjadi bunga yang busuk walaupun dia tumbuh dilumpur yang busuk. Maksih ra, aku tak akan lagi lari dari kenyataan dan maaf mengecewakanmu. Walaupun sebenarnya aku ingin kamu adalah seorang yang ingin aku nikahi kelak. Tapi … makasih” teriak roni lebih kencang dari sebelumnya. Mampu mengalahkan suara derasnya hujan.
Kulambaikan tangan untuk terakhir kalinya, dan kulihat air mukanya sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya sebelum kepergiannya.
“semoga kau dapat memberikan hal yang tak pernah kau dapatkan dari kedua orang tuamu unttuk anaku ron, walaupun aku sebenarnya masih menyukaimu tapi… semoga kau bahagia dengan Diana. Jaga selalu sahabatku itu, jangan buat dia menangis ya ron. Walaupun kami tak dapat bersahabat lagi tapi aku masih tetap menyayanginya selayaknya saying seorang sahabat kepada sahabatnya.” Gumamku dalam hati.
Aku kembali berjalan menjauh dari roni hingga akhirnya aku tak melihat bahkan bayangannya. Sebuah malam perpisahan ditempat pertama pertemuan.
TAMAT
jangan kamu tertarik membaca yang lain silahkan singgah di Isna Rzkiyani

Selasa, 24 November 2015

Puisi tentang Fenomena Sosial

Sengketa Tirani
karya Iza Faza


Bukankah nestapa diatas telaga
Rona merah pada pantulannya
Cermin berdarah mulai retak
Pada pertengahan bulan pertama

            Celetuk demi celetuk
Canda bukan sekadar tertawa
Karena tambang kian menggelora
Mengubah aparat menjadi keparat

Sukma tak lagi berharga
Sebab sengketa diatas tirani
           
            Gergaji ikut tertawa
            Melihat jiwa yang meronta
            Terkoyak nafsu liar sang penjaga
            Memisah jiwa dari sukma


Semarang, 15 Oktober 2015

Puisi Kepada Orang yang Berjasa

Penganyam Cinta
karya Iza Faza

Kau yang tertatih
Menganyam sayatan cinta
Dengan jemari penuh luka
Penuh darah yang membuka

Kala sayatan mulai mongering
Tertiup harapan sang senja
Dia berbisik dengan nyaring
Sebuah jasa tanpa harga

Terpatri dengan las panas
Sayatan mulai tak membekas
Menjadi satu dengan tubuh
Berharap tak ada lagi yang tumbuh

Tak pernah ia marah
Sebab sayatan telah terbuka
Dia justru berbalik arah
Membungkus dengan penuh cinta

Sebuah jasa tanpa harga
Sebuah nama dengan makna
Kutitipkan lewat bahasa yang bersayap
Sebuah pahatan kata maaf
Dan kasih tiada ujung
Semarang, 12 Oktober 2015


jangan lupa lihat juga postingan Fikri Nur Hilmawati Hanifah