Kotak Musik
Karya Iza Faza
“Kau tahu pernah ada sebuah gua
kecil yang berada di tengah desa dan tempatnya sangat gelap?” roni melirikku
sekilas. Pandangan kami bertemu di satu titik dimana hanya ada keheningan. Bisa
kurasakan detak jantung kami saling berpacu. Peluh, gemetar tak dapat kami
berdua sembunyikan. Akupun tak tahu arah pembicaraan kami, yang aku tahu
sekarang kami terjebak dalam suasana hening tak menentu. Roni tersenyum padaku
dan kembali mengalihkan pandangannya kearah langit yang saat itu tengah kelam.
Mungkin langit tengah berduka atas bulan dan matahari yang tak mampulagi saling
bertatap dan saling berjalan serasi walau di jalan masing-masing. Roni
melanjutkan apa yang barusan dia katakan dan aku hanya dapat berpangku tangan
mendengarkan setiap bait sajak yang ia ucapkan tanpa memotong tiap rangkaian
kata yang ia ucapkan.
“Selama bertahun-tahun tak ada yang memasang penerangan. Setiap
hari hanya ada kegelapan yang mengepung gua tersebut. kau tahu butuh berapa
lama untuk membuat gua tersebut terang?” kini dia kembali melirikku dan tak
seperti tadi, seakan dia menuntut jawaban dariku. Aku hanya dapat menggelengkan
kepala karena sebenarnya aku tak tahu apa yang tengah ia bicarakan. Yang aku
tahu hanyalah perasaanku semakin tak menentu ketika pandangan kami bertemu di
satu titik seperti sekarang ini.
“tak lama untuk membuat gua itu terang. Hanya butuh 1 detik” masih
dengan menatapku dia menyalakan korek api yang sedari tadi dipegangnya. Sontak
membuatku terkejut dengan apa yang ia lakukan. Aku lihat bahwa tempat duduk
kami berdua yang semula gelap kini terang dengan nyala api dari korek api yang
ia nyalakan.
“seperti itulah kehidupanku” roni berbalik kembali menatap langit.
“apa?” aku tercengang mendengar apa yang barusan roni katakan. Aku
masih tak habis pikir dengan jalan pikiran dan cara dia berbicara.
“ya, seperti cerita yang barusan kamu dengar” roni menjawab tanpa
berbbalik kearahku. Dia mengaitkan kedua tangannya di depan dada, seakan ada
yang ia ingin jelaskan.
“semenjak aku kecil, aku selalu di manja oleh kedua orang tuaku.
Segala yang aku butuhkan selalu terpenuhi. Akan tetapi yang sebenarnya aku
butuhkan justru mereka tak pernah memberiku kesempatan untuk merasakannya”
samar-samar terlihat mimik mukanya berubah. Sakan ada beban dan ada kenangan
pahit yang ada di tiap kata yang barusan ia katakan.
“kalau boleh tahu apa?” dengan hati-hati aku mencoba untuk mencari
tahu sesuatu yang sebenarnya mungkin tak tepat aku tanyakan saat ini.
Kini dia berbalik karahku dan mendekatkan wajahnya. Memandangku dengan
lekat seakan memberiku isyarat untuk mendengarkan dengan baik-baik karena dia
tak akan mengulang.
“cinta dan kasih sayang” dia menjawab dengan penuh tekan ditiap
hurufnya. Serasa mencekik hatiku. Aku hanya terdiam, bukan karena aku tak paham
dengan situasinya. Justru sekarang aku mengerti apa yang ia rasakan dan apa
yang tengah ia sampaikan. Aku terdiam karena aku tak mampu untuk sekadar
berbicara hai. Karena lidahku kelu dan nafasku serasa tercekik mendengar
pernyataan dia barusan.
“zara, mau kah kau jadi sinar di kegelapanku?” roni mengeluarkan
sebuah kado dari tasnya dan memberikannya padaku. Antara bingung, senang, takut
bercampur menjadi satu. Dengan reflek tubuhku mengatakan iya. Semenjak itu kami
berdua pacaran. Kehidupan pacaran kami berjalan dengan begitu indah. Setiap hari dia
berada di depan rumahku hanya untuk berangkat sekolah bersama. Setiap hari
serasa peri-peri kecil berterbangan diantara kam, memeperindah hubungan kami.
Sampai pada saat aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang roni sembunyikan
dariku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan roni.
Karena sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami.
***
“Jadi, kenapa kamu tega menyembunyikan semua ini dariku?” aku
menepuk nepuk dadaku sendiri dengan penuh amarah hingga tak sadar bahwa
seberkas cairan suci mengalir dipelupuk mataku.
“itu karena kamu!” Diana mulai terisak dan terjatuh memegang kedua kerah bajunya.
“aku?” aku terkejut akan jawaban Diana dengan tangan
yang menunjuk pada diriku sendiri.
“ya !, kamu tahu kan Roni sangat
mencintaimu dan… a..a..aku sangat mencintainya. Kau tahu bahkan aku mengenal
Roni lebih dulu dari pada kamu. Tapi !, dia… tak pernah melirik kearahku”
dengan terbata-bata Diana mencoba menjelaskan hal apa yang tengah terjadi dan
alasan mengapa dia sampai pada keadaan seperti ini.
Aku tak menyangka alasan Diana begitu
berani melangkah sampai dia merelakan kesuciannya pergi sebelum saat yang
tepat. Aku hanya bisa tersungkur mendengar penjelasan Diana. Sekarang aku tahu
mengapa Roni akhir-akhir ini berbeda bahkan berubah.
“tapi… kenapa kamu sampai berbuat begitu!
Kalau kau mau, silahkan rebut dia dariku. Dengan cara yang baik-baik. Bukan
seperti ini di!” aku mulai terisak. Tak menyangka seorang yang aku kira sahabat
terbaikku ternyata mengkhianatiku.
Terlebih lagi mengapa harus dengan cara yang begitu keji.
“apa kau tahu selama ini roni di ejek
teman-temannya karena dia tidak pernah berhasil menyentuhmu?. Aku.. aku yang
mendengar seperti itu tak bisa membiarkannya. Maka dari itu, a…aku merelakan
kesucianku untuknya” Diana menjawab dengan begitu pilu ditambah isakan yang
semakin lama semakin menjadi.
Aku tahu betapa sedihnya perasaan Diana
karena kejadian ini, dia di keluarkan dari sekolah, di kucilkan masyarakat.
Bahkan yang paling memilukan keluarganya tak mengakui Diana sebagai anaknya.
Hujan malam ini begitu deras membawa angin
yang telah lama tak bertemu dengan malam. Dibawah langit gelap mala mini aku
keluarkan sebuah bungkusan kado yang dulu diberikan Roni padaku. Aku memang
taka da niatan untuk melihatnya, tapi mala mini aku begitu ingin melihat
isinya. Kurobek bungkusan kado tersebut dengan hati-hati. Betapa terkejutnya aku,
ternyata isi dari kado tersebut adalah sebuah kotak music yang pernah aku
tunjukkan saat pertama kali pacaran. Kubuka kotak music tersebut dengan
hati-hati dan mendengarkan dengan seksama music yang diputar dengan ballerina
yang menari ditengah-tengah kotak music. Menambah sauasan syahdu mala mini.
Suasana langit seolah memutar waktu dimana pertama kali roni mengajakku untuk
berpacaran. Entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kuambil payung dari
dalam keranjang payng aku mekarkan dan aku keluar dari rumah padahal aku sangat
takut. Aku mencoba menghubungi roni yang selama ini tidak berani menemuiku dan
bahkan melarikan diri dari Diana. Tak kusangka roni membalasku dan kami membuat
janji bertemu di taman dekat rumahku. Aku menunggu di kursi pertamaku dan roni,
dengan bertemankan hujan yang semakin deras hingga payung yang kubawa tak mampu
melindungiku dari jamahan derasnya hujan. Tiga jam sudah tak kulihat
tanda-tanda kedatangan roni. Baju yang kering sudah berganti dengan baju yang
basah kuyup dan jemariku mulai mati rasa. Sesaat sebelum aku berbalik untuk
pulang, roni memanggilku. Kuberikan sebuah senyuman untuknya sebelum tanganku
mendarat tepat di pipi mulusnya. Percakapan kami begitu canggung, Namun
perlahan tapi pasti kami mulai terbiasa dan sampai pada akhirnya aku mulai
menyinggung permasalahan dia dan Diana. Setelah penjelasannya yang panjang dan
lebar aku mulai memahami mengapa sampai terjadi hal semacam itu.
“ini” aku menyerahkan sebuah kotak yang
kini basah kuyup karena terkena hujan.
“apa ini?” roni menerima kotak tersebut dan
membukannya. Terlihat jelas wajahnya yang begitu sedih.
“itu adalah hadiah pertama yang aku terima
darimu, berikanlah itu untuk calon anakmu. Karena kotak music itu adalah tanda
cinta kita. Jadi cintailah calon anakmu seperti yang kau katakana tadi bahwa
kau sangat mencintaimu. Kau tahu kan Diana begitu mencintaimu. Aku harap kamu
mulai mencintainya, dan lagi kamu harus bertanggung jawab. Kamu juga harus
tahu, anak adalah hadiah terindah dari surga. Aku harap kamu rawat bunga surge
itu, walaupun dia tumbuh di lumpur yang begitu busuk.” Aku berikan payung yang
sedari tadi aku pegang untuk roni dan perlahan aku mulai berjalan pulang.
“aku akan tanggung jawab ra!” pekik dia
dari taman, mendengarkan pekikan dia aku terhenti dan berbalik dengan sebuah
senyuman dan mengacungkan jempolku kearahnya.
“aku akan merawat bunga surge itu agar tak
layu dan tak menjadi bunga yang busuk walaupun dia tumbuh dilumpur yang busuk.
Maksih ra, aku tak akan lagi lari dari kenyataan dan maaf mengecewakanmu.
Walaupun sebenarnya aku ingin kamu adalah seorang yang ingin aku nikahi kelak.
Tapi … makasih” teriak roni lebih kencang dari sebelumnya. Mampu mengalahkan
suara derasnya hujan.
Kulambaikan tangan untuk terakhir kalinya,
dan kulihat air mukanya sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya sebelum
kepergiannya.
“semoga kau dapat memberikan hal yang tak
pernah kau dapatkan dari kedua orang tuamu unttuk anaku ron, walaupun aku
sebenarnya masih menyukaimu tapi… semoga kau bahagia dengan Diana. Jaga selalu
sahabatku itu, jangan buat dia menangis ya ron. Walaupun kami tak dapat
bersahabat lagi tapi aku masih tetap menyayanginya selayaknya saying seorang
sahabat kepada sahabatnya.” Gumamku dalam hati.
Aku kembali berjalan menjauh dari roni hingga
akhirnya aku tak melihat bahkan bayangannya. Sebuah malam perpisahan ditempat
pertama pertemuan.
TAMAT
jangan kamu tertarik membaca yang lain silahkan singgah di Isna Rzkiyani

Tidak ada komentar:
Posting Komentar