Rabu, 16 Desember 2015

Kumpulan Cerpen "Rintihan Kata"



Kotak Musik
Karya Iza Faza
“Kau tahu pernah ada sebuah gua kecil yang berada di tengah desa dan tempatnya sangat gelap?” roni melirikku sekilas. Pandangan kami bertemu di satu titik dimana hanya ada keheningan. Bisa kurasakan detak jantung kami saling berpacu. Peluh, gemetar tak dapat kami berdua sembunyikan. Akupun tak tahu arah pembicaraan kami, yang aku tahu sekarang kami terjebak dalam suasana hening tak menentu. Roni tersenyum padaku dan kembali mengalihkan pandangannya kearah langit yang saat itu tengah kelam. Mungkin langit tengah berduka atas bulan dan matahari yang tak mampulagi saling bertatap dan saling berjalan serasi walau di jalan masing-masing. Roni melanjutkan apa yang barusan dia katakan dan aku hanya dapat berpangku tangan mendengarkan setiap bait sajak yang ia ucapkan tanpa memotong tiap rangkaian kata yang ia ucapkan.
“Selama bertahun-tahun tak ada yang memasang penerangan. Setiap hari hanya ada kegelapan yang mengepung gua tersebut. kau tahu butuh berapa lama untuk membuat gua tersebut terang?” kini dia kembali melirikku dan tak seperti tadi, seakan dia menuntut jawaban dariku. Aku hanya dapat menggelengkan kepala karena sebenarnya aku tak tahu apa yang tengah ia bicarakan. Yang aku tahu hanyalah perasaanku semakin tak menentu ketika pandangan kami bertemu di satu titik seperti sekarang ini.
“tak lama untuk membuat gua itu terang. Hanya butuh 1 detik” masih dengan menatapku dia menyalakan korek api yang sedari tadi dipegangnya. Sontak membuatku terkejut dengan apa yang ia lakukan. Aku lihat bahwa tempat duduk kami berdua yang semula gelap kini terang dengan nyala api dari korek api yang ia nyalakan.
“seperti itulah kehidupanku” roni berbalik kembali menatap langit.
“apa?” aku tercengang mendengar apa yang barusan roni katakan. Aku masih tak habis pikir dengan jalan pikiran dan cara dia berbicara.
“ya, seperti cerita yang barusan kamu dengar” roni menjawab tanpa berbbalik kearahku. Dia mengaitkan kedua tangannya di depan dada, seakan ada yang ia ingin jelaskan.
“semenjak aku kecil, aku selalu di manja oleh kedua orang tuaku. Segala yang aku butuhkan selalu terpenuhi. Akan tetapi yang sebenarnya aku butuhkan justru mereka tak pernah memberiku kesempatan untuk merasakannya” samar-samar terlihat mimik mukanya berubah. Sakan ada beban dan ada kenangan pahit yang ada di tiap kata yang barusan ia katakan.
“kalau boleh tahu apa?” dengan hati-hati aku mencoba untuk mencari tahu sesuatu yang sebenarnya mungkin tak tepat aku tanyakan saat ini.
Kini dia berbalik karahku dan mendekatkan wajahnya. Memandangku dengan lekat seakan memberiku isyarat untuk mendengarkan dengan baik-baik karena dia tak akan mengulang.
“cinta dan kasih sayang” dia menjawab dengan penuh tekan ditiap hurufnya. Serasa mencekik hatiku. Aku hanya terdiam, bukan karena aku tak paham dengan situasinya. Justru sekarang aku mengerti apa yang ia rasakan dan apa yang tengah ia sampaikan. Aku terdiam karena aku tak mampu untuk sekadar berbicara hai. Karena lidahku kelu dan nafasku serasa tercekik mendengar pernyataan dia barusan.
“zara, mau kah kau jadi sinar di kegelapanku?” roni mengeluarkan sebuah kado dari tasnya dan memberikannya padaku. Antara bingung, senang, takut bercampur menjadi satu. Dengan reflek tubuhku mengatakan iya. Semenjak itu kami berdua pacaran. Kehidupan pacaran kami berjalan dengan begitu indah. Setiap hari dia berada di depan rumahku hanya untuk berangkat sekolah bersama. Setiap hari serasa peri-peri kecil berterbangan diantara kam, memeperindah hubungan kami. Sampai pada saat aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang roni sembunyikan dariku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan roni. Karena sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami.
***
“Jadi, kenapa kamu tega menyembunyikan semua ini dariku?” aku menepuk nepuk dadaku sendiri dengan penuh amarah hingga tak sadar bahwa seberkas cairan suci mengalir dipelupuk mataku.
“itu karena kamu!” Diana mulai terisak dan terjatuh memegang kedua kerah bajunya.
“aku?”  aku terkejut akan jawaban Diana dengan tangan yang menunjuk pada diriku sendiri.
“ya !, kamu tahu kan Roni sangat mencintaimu dan… a..a..aku sangat mencintainya. Kau tahu bahkan aku mengenal Roni lebih dulu dari pada kamu. Tapi !, dia… tak pernah melirik kearahku” dengan terbata-bata Diana mencoba menjelaskan hal apa yang tengah terjadi dan alasan mengapa dia sampai pada keadaan seperti ini.
Aku tak menyangka alasan Diana begitu berani melangkah sampai dia merelakan kesuciannya pergi sebelum saat yang tepat. Aku hanya bisa tersungkur mendengar penjelasan Diana. Sekarang aku tahu mengapa Roni akhir-akhir ini berbeda bahkan berubah.
“tapi… kenapa kamu sampai berbuat begitu! Kalau kau mau, silahkan rebut dia dariku. Dengan cara yang baik-baik. Bukan seperti ini di!” aku mulai terisak. Tak menyangka seorang yang aku kira sahabat terbaikku  ternyata mengkhianatiku. Terlebih lagi mengapa harus dengan cara yang begitu keji.
“apa kau tahu selama ini roni di ejek teman-temannya karena dia tidak pernah berhasil menyentuhmu?. Aku.. aku yang mendengar seperti itu tak bisa membiarkannya. Maka dari itu, a…aku merelakan kesucianku untuknya” Diana menjawab dengan begitu pilu ditambah isakan yang semakin lama semakin menjadi.
Aku tahu betapa sedihnya perasaan Diana karena kejadian ini, dia di keluarkan dari sekolah, di kucilkan masyarakat. Bahkan yang paling memilukan keluarganya tak mengakui Diana sebagai anaknya.
Hujan malam ini begitu deras membawa angin yang telah lama tak bertemu dengan malam. Dibawah langit gelap mala mini aku keluarkan sebuah bungkusan kado yang dulu diberikan Roni padaku. Aku memang taka da niatan untuk melihatnya, tapi mala mini aku begitu ingin melihat isinya. Kurobek bungkusan kado tersebut dengan hati-hati. Betapa terkejutnya aku, ternyata isi dari kado tersebut adalah sebuah kotak music yang pernah aku tunjukkan saat pertama kali pacaran. Kubuka kotak music tersebut dengan hati-hati dan mendengarkan dengan seksama music yang diputar dengan ballerina yang menari ditengah-tengah kotak music. Menambah sauasan syahdu mala mini. Suasana langit seolah memutar waktu dimana pertama kali roni mengajakku untuk berpacaran. Entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kuambil payung dari dalam keranjang payng aku mekarkan dan aku keluar dari rumah padahal aku sangat takut. Aku mencoba menghubungi roni yang selama ini tidak berani menemuiku dan bahkan melarikan diri dari Diana. Tak kusangka roni membalasku dan kami membuat janji bertemu di taman dekat rumahku. Aku menunggu di kursi pertamaku dan roni, dengan bertemankan hujan yang semakin deras hingga payung yang kubawa tak mampu melindungiku dari jamahan derasnya hujan. Tiga jam sudah tak kulihat tanda-tanda kedatangan roni. Baju yang kering sudah berganti dengan baju yang basah kuyup dan jemariku mulai mati rasa. Sesaat sebelum aku berbalik untuk pulang, roni memanggilku. Kuberikan sebuah senyuman untuknya sebelum tanganku mendarat tepat di pipi mulusnya. Percakapan kami begitu canggung, Namun perlahan tapi pasti kami mulai terbiasa dan sampai pada akhirnya aku mulai menyinggung permasalahan dia dan Diana. Setelah penjelasannya yang panjang dan lebar aku mulai memahami mengapa sampai terjadi hal semacam itu.
“ini” aku menyerahkan sebuah kotak yang kini basah kuyup karena terkena hujan.
“apa ini?” roni menerima kotak tersebut dan membukannya. Terlihat jelas wajahnya yang begitu sedih.
“itu adalah hadiah pertama yang aku terima darimu, berikanlah itu untuk calon anakmu. Karena kotak music itu adalah tanda cinta kita. Jadi cintailah calon anakmu seperti yang kau katakana tadi bahwa kau sangat mencintaimu. Kau tahu kan Diana begitu mencintaimu. Aku harap kamu mulai mencintainya, dan lagi kamu harus bertanggung jawab. Kamu juga harus tahu, anak adalah hadiah terindah dari surga. Aku harap kamu rawat bunga surge itu, walaupun dia tumbuh di lumpur yang begitu busuk.” Aku berikan payung yang sedari tadi aku pegang untuk roni dan perlahan aku mulai berjalan pulang.
“aku akan tanggung jawab ra!” pekik dia dari taman, mendengarkan pekikan dia aku terhenti dan berbalik dengan sebuah senyuman dan mengacungkan jempolku kearahnya.
“aku akan merawat bunga surge itu agar tak layu dan tak menjadi bunga yang busuk walaupun dia tumbuh dilumpur yang busuk. Maksih ra, aku tak akan lagi lari dari kenyataan dan maaf mengecewakanmu. Walaupun sebenarnya aku ingin kamu adalah seorang yang ingin aku nikahi kelak. Tapi … makasih” teriak roni lebih kencang dari sebelumnya. Mampu mengalahkan suara derasnya hujan.
Kulambaikan tangan untuk terakhir kalinya, dan kulihat air mukanya sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya sebelum kepergiannya.
“semoga kau dapat memberikan hal yang tak pernah kau dapatkan dari kedua orang tuamu unttuk anaku ron, walaupun aku sebenarnya masih menyukaimu tapi… semoga kau bahagia dengan Diana. Jaga selalu sahabatku itu, jangan buat dia menangis ya ron. Walaupun kami tak dapat bersahabat lagi tapi aku masih tetap menyayanginya selayaknya saying seorang sahabat kepada sahabatnya.” Gumamku dalam hati.
Aku kembali berjalan menjauh dari roni hingga akhirnya aku tak melihat bahkan bayangannya. Sebuah malam perpisahan ditempat pertama pertemuan.
TAMAT
jangan kamu tertarik membaca yang lain silahkan singgah di Isna Rzkiyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar