Selasa, 24 November 2015

Puisi tentang Fenomena Sosial

Sengketa Tirani
karya Iza Faza


Bukankah nestapa diatas telaga
Rona merah pada pantulannya
Cermin berdarah mulai retak
Pada pertengahan bulan pertama

            Celetuk demi celetuk
Canda bukan sekadar tertawa
Karena tambang kian menggelora
Mengubah aparat menjadi keparat

Sukma tak lagi berharga
Sebab sengketa diatas tirani
           
            Gergaji ikut tertawa
            Melihat jiwa yang meronta
            Terkoyak nafsu liar sang penjaga
            Memisah jiwa dari sukma


Semarang, 15 Oktober 2015

Puisi Kepada Orang yang Berjasa

Penganyam Cinta
karya Iza Faza

Kau yang tertatih
Menganyam sayatan cinta
Dengan jemari penuh luka
Penuh darah yang membuka

Kala sayatan mulai mongering
Tertiup harapan sang senja
Dia berbisik dengan nyaring
Sebuah jasa tanpa harga

Terpatri dengan las panas
Sayatan mulai tak membekas
Menjadi satu dengan tubuh
Berharap tak ada lagi yang tumbuh

Tak pernah ia marah
Sebab sayatan telah terbuka
Dia justru berbalik arah
Membungkus dengan penuh cinta

Sebuah jasa tanpa harga
Sebuah nama dengan makna
Kutitipkan lewat bahasa yang bersayap
Sebuah pahatan kata maaf
Dan kasih tiada ujung
Semarang, 12 Oktober 2015


jangan lupa lihat juga postingan Fikri Nur Hilmawati Hanifah

Selasa, 17 November 2015

Serpihan Kata Bahasa dan Sastra Indonesia

SAJAK MATAHARI

Oleh : 
W.S. Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku. 
Menyentuh permukaan samodra raya. 
Matahari keluar dari mulutku, 
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku, 
wahai kamu, wanita miskin ! 
kakimu terbenam di dalam lumpur. 
Kamu harapkan beras seperempat gantang, 
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul 
keluar dari hutan belantara, 
tubuh mereka terbalut lumpur 
dan kepala mereka berkilatan 
memantulkan cahaya matahari. 
Mata mereka menyala 
tubuh mereka menjadi bara 
dan mereka membakar dunia.
Matahri adalah cakra jingga 
yang dilepas tangan Sang Krishna. 
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, 
ya, umat manusia !
Yogya, 5 Maret 1976 
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)


SAJAK MATA-MATA

Oleh : 
W.S. Rendra

Ada suara bising di bawah tanah. 
Ada suara gaduh di atas tanah. 
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. 
Ada tangis tak menentu di tengah sawah. 
Dan, lho, ini di belakang saya 
ada tentara marah-marah.
Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 
Aku melihat isyarat-isyarat. 
Semua tidak jelas maknanya. 
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, 
menggangu pemandanganku.
Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Pendengaran dan penglihatan 
menyesakkan perasaan, 
membuat keresahan – 
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi 
terjadi tanpa kutahu telah terjadi. 
Aku tak tahu. Kamu tak tahu. 
Tak ada yang tahu.
Betapa kita akan tahu, 
kalau koran-koran ditekan sensor, 
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. 
Koran-koran adalah penerusan mata kita. 
Kini sudah diganti mata yang resmi. 
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. 
Kita hanya diberi gambara model keadaan 
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
Mata rakyat sudah dicabut. 
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. 
Mata pemerintah juga diancam bencana. 
Mata pemerintah memakai kacamata hitam. 
Terasing di belakang meja kekuasaan. 
Mata pemerintah yang sejati 
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya. 
Banyak makannya. 
Sukar diaturnya. 
Sedangkan laporannya 
mirp pandangan mata kuda kereta 
yang dibatasi tudung mata.
Dalam pandangan yang kabur, 
semua orang marah-marah. 
Rakyat marah, pemerinta marah, 
semua marah lantara tidak punya mata. 
Semua mata sudah disabotir. 
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi
(http://zhuldyn.wordpress.com)


SAJAK ORANG KEPANASAN
Oleh :
W.S. Rendra
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Suara Merdeka, 
Jumat, 15 Mei 1998
(http://zhuldyn.wordpress.com)